Cybertv.id.- Solok, Sumatera Barat – Kabupaten Solok, yang selama ini dikenal dengan slogan “Solok Nan Indah”, kembali disorot bukan karena keelokan alamnya, melainkan maraknya aktivitas tambang emas ilegal pasca tragedi maut yang menewaskan 13 orang di Sungai Abu.
Meski suasana Lebaran masih menyisakan keramaian di jalanan, suasana berbeda justru terjadi di kawasan hutan belantara Nagari Supayang, Kecamatan Payung Sekaki. Puluhan alat berat jenis ekskavator kembali terlihat beroperasi bebas, menggali isi perut bumi tanpa izin. Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) atau ‘ilegal mining’ ini berlangsung terang-terangan, seolah mendapat perlindungan dari pihak-pihak yang seharusnya menegakkan hukum.
Sejumlah media dan LSM telah mengonfirmasi keberadaan aktivitas ilegal ini. Ironisnya, hingga kini belum ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Dugaan keterlibatan oknum penegak hukum pun mencuat, diperkuat dengan beredarnya percakapan di WhatsApp antara seorang wartawan dan oknum APH (Aparat Penegak Hukum), yang menyebut soal “uang koordinasi” guna melancarkan operasional tambang ilegal tersebut.
Tak hanya itu, bukti transfer sejumlah uang kepada pihak tertentu juga berhasil dikantongi media. Ini mengindikasikan kuatnya jejaring pengamanan yang memungkinkan tambang ilegal tetap eksis, bahkan makin masif.
Lalu, pertanyaannya: apakah penambangan emas ilegal di Kabupaten Solok benar-benar tidak bisa diberantas? Atau justru praktik ini telah masuk dalam sistem, dilindungi oleh aktor-aktor yang berkepentingan, termasuk oknum berpangkat?
Memang, sebagian masyarakat mungkin menggantungkan hidup dari tambang emas ini. Namun, keuntungan terbesar jelas bukan di tangan warga lokal, melainkan para investor dari luar daerah. Dampak ekologis, potensi konflik horizontal, hingga rusaknya tatanan hukum jelas menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Indonesia adalah negara hukum. Setiap aktivitas pertambangan wajib mengantongi izin. Bila tidak, itu adalah tindak pidana. Dan jika benar aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari sistem pelindung tambang ilegal ini, maka ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga bentuk nyata pengkhianatan terhadap keadilan dan masa depan lingkungan.
Kini, semua mata tertuju pada aparat hukum di Kabupaten Solok. Apakah mereka akan bertindak sesuai sumpah jabatan? Ataukah justru memilih bermain mata dan membiarkan tambang emas ilegal terus menggerogoti hutan, sungai, dan masa depan anak cucu Solok?